Suramnya Nasib Guru di Negara Pancasila

Cerita tentang nasib miris guru mungkin sudah sering kita dengar. Lowongan guru bukan favorit pencari kerja. Bahkan di tengah berita tingginya angka pengangguran yang mencapai 7,28 juta orang per Februari. Gaji yang ditawarkan berbagai lembaga pendidikan relatif rendah, bahkan di bawah upah minimum.

Seorang teman, dia berpengalaman menjadi guru di beberapa sekolah dan memutuskan berhenti sejenak ketika harus fokus mengasuh anak. Namun, di usianya yang tidak muda lagi (36 tahun), dia kesulitan memperoleh pekerjaan. Bukan perkara kualifikasi, sebab dia memiliki kualifikasi dan pengalaman memadai. Benturan terbesarnya ada pada tawaran gaji dan usia.

Saya ambil contoh Kota Bekasi yang memiliki Upah Minimum Kota (UMK) 2025 tertinggi di Indonesia. Tawaran gaji sebagai guru penuh waktu ada berkisar Rp1-9 juta. Rentang gaji guru Rp3-9 juta ditawarkan sekolah internasional, sedangkan sekolah swasta nasional menawarkan gaji Rp1-3 juta. Artinya, rata-rata sekolah swasta nasional di Kota Bekasi menawarkan gaji di bawah UMK.

Kerja atau Dikerjain?

Dalam salah satu diskusi di momen Hari Pendidikan Nasional, seorang guru muda yang sudah mengabdi selama lima tahun bercerita tentang pengalamannya di salah satu sekolah di Jakarta. Dengan gaji Rp2 juta, dia harus menemani anak-anak didik dengan penuh perhatian serta mengerjakan segala tugas administratif dengan tekun. Agar dapat bertahan di Jakarta, dia harus melakukan tiga pekerjaan lain.

Apa yang diceritakan sang guru menggambarkan situasi kerja tidak layak, kesejahteraan mental tak memadai, lelah fisik dan batin, kekurangan aktualisasi diri, dan minim istirahat. Jika menggunakan telaah William Morris (2023), apa yang dilakukan oleh para guru tersebut itu “kerja atau dikerjain”?

Bukan satu-dua kali cerita seperti ini saya dengar. Bagaimana pendidikan kita tidak remuk jika penghargaan terhadap sosok berjasa bagi pendidikan saja sangat jauh dari memadai. Lalu, jika Anda merupakan mahasiswa tahun terakhir di kampus-kampus Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan membaca lowongan tersebut, apakah akan melanjutkan niat mulia mencerdaskan anak bangsa? Jika ingin pikir-pikir, tentunya sangat rasional.

Beban hidup tampaknya ingin membuat guru-guru Indonesia lebih kuat. Sebab mereka harus menjadi pelita di gelapnya bangsa ini. Cerita guru tentang sulitnya mendapatkan kesejahteraan menunjukkan kerasnya dunia pendidikan. Guru-guru tetap harus “tampak bahagia” meski hidup tak baik-baik saja. Mereka bisa terjerat pinjaman online atau judi online. OJK menyebut, profesi guru yang paling banyak terjerat pinjaman online (pinjol).

Masalah

Jika nasib gurunya seperti itu, tak heran jika kerap menemukan berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita. Dalam berbagai perbincangan, kekecewaaan terhadap dunia pendidikan sering mengemuka. Apalagi biaya yang dikeluarkan oleh setiap rumah tangga semakin besar. Pendidikan menjadi barang komersial. Anda membayar lebih mahal maka kualitas pendidikan yang anak-anak raih akan lebih optimal.

Kebanyakan orang tua tidak semata memasukan anak-anaknya ke sekolah formal untuk mendapat return of investment yang optimal. Setelah anak-anak berjuang di sekolah formal, bagi yang berpunya, mereka harus belajar lebih lanjut di berbagai lembaga untuk meningkatkan kapasitas akademik atau nonakademiknya.

Kualifikasi yang mereka dapat itulah yang kemudian menjadi “bekal” perjalanan menjemput masa depan. Konten-konten media sosial yang secara terbuka membicarakan biaya sekolah dan tambahan kursus lazim ditonton masyarakat. Masyarakat butuh rekomendasi di mana sekolah-sekolah swasta yang memiliki rekam jejak di bidang pendidikan. Preferensi masyarakat pun sangat beragam mulai dari yang mencari sekolah internasional, sekolah nasional, atau sekolah nasional dan internasional berbasis agama.

Dalam telaah ekonomi politik, apa yang terjadi saat ini, menggunakan terawang Romo Herry-Priyono (2003), adalah pengaruh penerapan konsep “modal” ( capital ) yang semakin banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ada istilah “bila Anda tak punya uang, Anda tak punya hak” (Herry-Priyono, 2003).

Paparan tersebut menegaskan, jika hak yang diraih oleh masyarakat sangat bergantung pada kekuatan kapital (ekonomi, sosial, budaya) yang dimilikinya. Jika Anda memiliki kapital yang terbatas, bersiaplah untuk mendapatkan hak yang terbatas. Perkara yang nampak dalam keseharian ini perlu mendapat perhatian dari negara. Jika tidak, kondisi masyarakat Indonesia akan semakin suram. Karena, tampak sekali untuk mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan sosial budaya lainnya sangat bergantung pada “syarat dan ketentuan berlaku”. Hal tersebut tentu merupakan paradoks jika terjadi di realitas negara berbasis Pancasila.

Post a Comment for "Suramnya Nasib Guru di Negara Pancasila"